Kamis, 08 Januari 2009

Tulang Sotong

Tulang sotong mengandung kalsium karbonat, sodium klorida, kalsium fosfat dan garam magnesium. Di Inggris, para penggemar burung kenari tidak memberikan tulang sotong secara utuh kepada burung kenari tetapi menyisirnya dengan pisau menjadi tepung yang lembut atau memecahnya hingga seukuran pasir dan menaburkannya di dasar sangkar di sebelah telur waktu burung dijodohkan. Burung betina akan turun dan memakannya begitu melihat mereka menaburkannya.
Tulang sotong akan dilarutkan oleh asam lambung dan kemudian masuk ke dalam system pencernaan di mana kalsium dan garam magnesium diserap diserap aliran darah. Ketika burung betina hampir bertelur, kalsium dikeluarkan dari aliran darah ke saluran telur sebagai pelindung telur yang masih lunak. Dianjurkan pula untuk meneruskan pemberian tulang sotong ini selama masa pengeraman karena secara logika burung betina membutuhkan untuk melengkapi kembali kebutuhan untuk tulang dan darah setelah bertelur.
Grit batu kapur (limestone) adalah sumber kalsium lain yang penting bagi burung kenari, diberikan dalam ukuran diameter 2 – 3 mm. Batu ini larut dalam asam lemah dan ketika dimakan oleh burung tersangkut dalam tembolok di mana akan “dicuci” dengan asam lambung dan lama-lama akan hancur dan larut. Dengan memakai bebatuan ini akan menghindari adanya telur yang tidak normal.
Waktu keluar dari telur untuk pertama kalinya, anak burung sangat membutuhkan kalsium, magnesium karbonat dan fosfat untuk kepentingan tulang, bulu dan darah. Sebagai contoh burung yang cacat kakinya atau kukunya kemungkinan besar kekurang zat ini.
DIBERI GRIT ATAU TIDAK?
Sangat mengejutkan bahwa banyak pecinta burung kenari mengkesampingkan grit dalam makanan burung kenari, dasar kebenaran untuk masalah ini adalah tidak maunya burung kenari mengkonsumsi grit. Bagaimanapun kenyataan secara biologi adalah burung jenis finch liar atau burung pemakan biji-bijian, mencari dan mengkonsumsi grit setiap harinya. Mereka terbawa secara naluriah selama berjuta-juta tahun, seperti naluri membuat sarang, mandi dan bernyanyi.
Selama 2 abad, penggemar kenari di Inggris menyediakan grit untuk burungnya, biasanya memakai tempat makan kecil. Cara ini digunakan penggemar di Belanda, Perancis, Belgia, Spanyol dan Itali selama sudah beratus-ratus tahun.
Burung kenari dan burung lainnya mempunyai sistem pencernakan yang disebut “Ampela” yang berfungsi untuk membantu meremuk biji-bijian karena mengingat burung tidak mempunyai gigi seperti layaknya manusia. Ampela menggunakan grit untuk memecah biji dibantu dengan asam lambung. Grit, dimakan oleh burung, mendiami galur-galur ampela, membantu meremukkan biji-bijian menjadi butiran yang lebih halus. Demikian kerjanya, sedang grit sendiri hancur dengan segera menjadi seperti pasir halus, atau jika mempunyai sifat larut seperti batu kapur, akan larut dalam ampela dan asam lambung, otomatis juga mensuplai kalsium untuk telur dan tulang. Bila gritnya tidak larut, seperti granit dan kwarsa, akan keluar bersama kotoran. Jika burung kenari, finch atau burung pemakan biji dioperasi, kita dapat melihat adanya grit dalam ampelanya. Percobaan membuktikan bahwa bila burung kenari tidak diberi makan grit selama sekitar 2 minggu, kemudian kita melepaskan burung ke kandang besar yang beralaskan tanah. Burung tersebut akan segera mencari grit di tanah.
Stroud’s Digest on the Diseases of Birds halaman 136 menjelaskan fungsi ampela dalam hubungan grit dengan pencernakan adalah:
“Ampela berukuran besar, bulat, organ yang berotot terletak di sebelah kiri atas rongga perut. Rongga bagian dalam mempunyai dua tingkat yang permukaannya saling berhadapan yang dilapisi dengan lapisan yang keras dan berombak-ombak. Dengan gerakan berputar pelan dan permukaannya saling bersinggungan, tempat ini dijadikan ruangan pemecah biji, dijalankan oleh otot yang kuat bertenaga yang dibuat alam. Dan dibantu oleh asam lambung membuat bijian atau apa yang di dalamnya menjadi lebih lunak, membuat bijian yang keras menjadi lunak.”
Hampir sama artinya dengan apa yang ditulis Bernard Poe dalam buku Cage Bird Handbook yang diterbitkan oleh Bailey & Swinfen Ltd. London tahun 1950-an:
“Perut burung pemakan bijian tidaklah terlalu berotot dan kuat tetapi lebih menyerupai ampela berotot dan berdinding tebal. Dinding ototnya tersusun dalam dua pentolan yang berhadapan yang berkontraksi dengan kuat, menghancurkan makanan menjadi lunak, DIBANTU DENGAN AKSI BATU-BATUAN KECIL YANG DITELAN BURUNG. Dalam waktu yang singkat batu ini menjadi bundar dan menjadi lebih kecil lagi dan menuju ke celah kecil di bagian bawah, menuju ke perut dan akhirnya keluar bersama kotoran.”
Membaca tulisan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa burung fringilidae atau pemakan bijian tidak mempunyai sistem pencernaan dan tidak mampu mengunyah seperti halnya mamalia, sehingga memerlukan bahan pembantu guna menyempurnakan pengambilan sari makanan di pencernaan. Satu di antara bahan pembantu itu adalah grit, jadi kita dapat mengetahui sekarang perlunya memberikan grit bagi burung kesayangan kita.

Kenari tidak gacor saat diadu

Salah seorang teman penggemar burung (Gery, Jambi) bertanya kepada saya mengapa kenari (KN) miliknya hanya gacor kalau di rumah, sementara kalau di trek dengan KN lain cuma membisu.
Ini memang masalah umum dalam perburungan. Banyak burung yang hanya gacor kalau sendirian atau cuma menghadapi sedikit musuh.

Perlu diketahui bahwa setiap burung mempunyai sifat atau karakter bawaan sendiri-sendiri. Dalam hal mental tarung misalnya, dipengaruhi oleh sifat bawaan meski rawatan harian (latihan dsb) juga sangat menentukan.
KN starblue (warna blirik seperti burung gereja namun warnanya cenderung abu-abu) misalnya, sangat gacor kalau untuk burung rumahan. Tetapi, kebanyakn jenis itu kurang gacor kalau ditrek dengan KN lain.
Sementara itu, KN warna hijau, dikenal sebagai KN petarung. Dia dikenal sebagai KN mudah gacor dan mentalnya bagus.
Meskipun ada pembawaan seperti itu, perawatan harian sangat berpengaruh pada mental bertanding KN.
KN yang jarang bertemu dengan KN lain, biasanya akan “kaget dan diam” ketika dia mendengar “lagu” yang didendangkan KN yang baru dia jumpai. Saat itu, dia hanya ngetem tanpa suara.
Dengan demikian, KN memang perlu dilatih untuk bertemu dengan KN lain secara periodik. Hal itu akan sangat berguna untuk melatih mentalnya.


Ada memang yang mengatakan bahwa KN jangan digantang dalam satu ruangan dengan KN lain selama perawatan harian di rumah. Alasannya, sifat fighter-nya akan hilang. Memang, setelah sering kumpul dengan KN tertentu, KN tidak terlihat lagi sifat fighternya. Tetapi itu tidak permanen, sebab semangat tempurnya bakal muncul mana kala ada KN baru masuk ke daerah atau teritorinya.
Saran saya, kalau kita hanya mempunyai satu KN di rumah, maka sering-sering diajak main trek dengan KN tetangga, kawan, dsb, untuk melatih mentalnya agar tidak “kagetan” kalau bertemu KN lain. Akan lebih baik kalau kita punya dua-tiga kenari di rumah untuk saling menjadi sparing partner.


Kasus khusus
Namun dalam kasus-kasus tertentu, ada memang KN yang gacor di rumah dan diam saat diadu tetapi bukan karena masalah mental. Dengan catatan bahwa KN kita memang bukan lagi KN muda, maka penyebab itu antara lain:


1. Burung/KN tidak fit. Tidak fit bukan berarti sakit. Kadang ada KN yang meski belum tuntas mabung dia sudah gacor lagi. Tetapi, mana kala diadu, dia jadi diam. Ya, inilah pertanda bahwa burung belum fit.
Perlu diketahui, bahwa meski sama-sama gacor, tingkat “kengototan” KN ketika bunyi semaunya sendiri di rumah dengan ketika diadu sangatlah berbeda. Jadi, meski sangat gacor ketika bunyi sendirian di rumah, tetapi karena kemungkinan kondisi tidak fit, dia akan merasa tidak nyaman ketika harus mengeluarkan tenaga maksimal (ngotot) saat bertemu lawan. Jadilah dia hanya membisu.


2. Kondisi tidak fit di atas, sering pula ditambahi dengan masalah lagu/isian yang dimiliki. KN yang dimaster dengan lagu/isian yang banyak tekukannya, seperti BT atau sanger, hanya akan bisa mengeluarkan kicauan secara sambung-menyambung dan tidak banyak ngetem, kalau kondisinya benar-benar fit. Untuk memahami persoalan ini, ada baiknya kalau dibaca pula postingan saya mengenai http://finakenari.blogspot.com/2009/01/kenari-jogja-versus-jakarta.html
Demikian kira-kira hal yang bisa saya sampaikan untuk membahas masalah KN milik Om Gery Jambi.
Salam,.
Duto Solo


sumber : http://kicauan.wordpress.com/2009/01/03/kenari-tidak-gacor-saat-diadu/

Kenari: Jogja versus Jakarta

Memilih kenari (KN) dan cara memasternya untuk keperluan lomba di Jogja ternyata harus berbeda dengan cara memilih dan memaster KN untuk keperluan lomba di Jakarta. Kesimpulan itu saya ambil berdasar informasi yang saya serap dari para pemain KN (KN) Jakarta dan pemain KN Jogja mengenai “KN yang bagus” berdasarkan versi mereka masing-masing.Artinya, kalau Om Budimanuk (KM Jogja) mengatakan punya KN bagus, belum tentu KN itu dinilai bagus oleh Om Christ Murdock (KM Jakarta), misalnya. Begitu juga sebaliknya, kalau Om Yoyo (KM Jakarta) bilang punya KN bagus, belum tentu dianggap bagus oleh Om Mac (KM Jogja).Lantas mengapa saya membedakan tren KN hanya berdasar dua tren, Jogja dan Jakarta? Ini sebenarnya untuk memudahkan penyebutan saja. Kedua kota ini menjadi barometer tren KN dengan latar belakang masing-masing.
"Tren Jogja"
Jogja punya tren tersendiri dalam memaster KN karena orang Jogja (yang dimotori Papburi) “lebih mementingkan” lagu/isian. Gaya tarung atau volume memang punya poin tersendiri. Tetapi, meski KN punya volume tembus dan gaya tarung menawan, dia akan mendapat ranking nilai keseluruhan yang rendah kalau tidak punya lagu/isian yang khas (disebut “lagu standar”).Karena itulah orang Jogja sangat getol memaster KN dengan berbagai isian. Juga, karena ingin mendapatkan KN yang bagus dalam “menyanyi”, mereka pun melakukan percobaan untuk mendapatkan KN yang keras volumenya sekaligus memiliki olah vokal sebagai KN song type (tipe penyanyi).KN-KN dengan lagu isian bagus hanya bisa diperbandingkan jika juri benar-benar bisa mendengar secara jelas lagu masing-masing KN. Oleh karena itulah setting lomba Papburi adalah lomba non teriak.Lantas apakah di Jogja dan kota sekitarnya tidak ada lomba KN sekaligus “lomba teriak”? Ya ada. Di sejumlah tempat masih ada lomba KN dengan aturan boleh teriak. Nah, dalam konteks tulisan ini, maka KN yang dipertandingkan di sana tidak saya masukkan sebagai “tren Jogja” tetapi malah pas untuk “tren Jakarta”.Dengan demikian, tren Jogja yang saya maksud adalah tren KN untuk lomba ala Papburi, yang berbeda dengan “tren Jakarta” yang pada akhirnya sering disebut sebagai “tren PBI”, di mana arena lomba dipenuhi teriakan2 menggelora. Memang ada “kelas non teriak” di lomba “ala PBI”, tetapi karena lokasinya berdempetan dengan lokasi “kelas teriak”, maka di kedua arena itu suasananya sama: tidak bisa membedakan KN berdasar lagu/isiannya.
“Tren Jakarta”
Berbeda dengan di Jogja, KN yang dianggap bagus di Jakarta adalah KN-KN yang mampu “bersuara panjang”. Lagu/ isian memang mendapat poin penilaian juga. Hanya saja, meskipun KN punya lagu/isian bagus, kalau dalam membawakan relatif pendek meskpun berulang, apalagi relatif tidak tembus, maka dia tidak akan mencapai “nilai mentok” maksimal (semua juri memberi nilai 38).“Tren Jakarta” ini bukan tercipta dengan sendirinya. Tren seperti itu “tercipta” oleh kondisi lomba yang membolehkan suporter untuk berteriak-teriak. Dalam kondisi riuh-rendah, KN yang terlihat “kerja” adalah KN yang “terus berkicau”, yang ditandai oleh terdengarnya suara si KN dan/atau ”terlihatnya gerakan paruh atau getaran gondok” di leher KN. Dalam mondisi riuh rendah, tak ada lagi perbedaan bagus-jelek di antara KN ber-lagu bagus dengan ber-lagu standar. KN bagus ala Jakarta, dengan demikian, adalah KN yang terus “terlihat” bernyanyi (tak peduli lagu apa yang dinyanyikan).“Tren Jakarta” inilah yang sekarang merupakan tren umum “KN yang bagus” di berbagai kota.
“Tren kacau” ala Solo
Untuk Solo sendiri bagaimana? Saya lihat, di kota ini berkembang dua tren tersebut secara bersamaan. Pada satu sisi ada penggemar yang suka KN dengan isian/lagu bagus dan lebih suka terjun di lomba Papburi Solo. Namun yang terbanyak tetap penggemar KN untuk lomba-lomba “ala PBI”.Kacaunya, banyak penghobi KN yang memaster burung mereka tanpa tahu maksud dan tujuan pemasteran tersebut. Hanya karena orang lain memaster KN dengan blackthroat (BT) dia ikut-ikutan. Ada yang memaster dengan ciblek, dia pun ikut-ikutan. Begitu seterusnya. Padahal, KN itu sendiri memiliki lagu yang pada dasarya bagus; indah mengalun, naik turun dengan warna suara yang variatif. Jujur saja, saya misalnya, lebih suka suara KN standar ketimbang suara ciblek atau gelatik wingko. Tetapi kalau sudah berbicara soal “bisnis”, lomba,atau harga, maka saya pasti lebih senang punya KN yang punya lagu full ciblek atau full BT, tidak ada lagu KNnya sama sekali. Mengapa? Pasti, KN macam ini akan laku dengan harga tinggi di arena Papburi misalnya.Bagaimana dengan Anda? Kalau Anda masih kacau seperti saya, maka Anda termasuk dalam “tren kacau” ala Solo, hehehehe.
Memilih KN berdasar tujuan
Berdasar paparan di atas, sampailah kita pada pertanyaan bagaimana memilih KN yang bagus? Nah untuk memilih KN, tentunya berdasar tujuan kita. Kalau kita pengin mencetak KN tren Jakarta, tidak perlu mencari KN type penyanyi (song type), cukup yang suaranya lantang dan panjang. Sedangkan untuk tren Jogja, kita perlu memilih KN tipe penyanyi. Apa itu KN tipe penyanyi dan non-penyanyi? Untuk masalah ini, ada KMer’s yang lebih ahli seperti Om Ivan, OM Kian Sing atau yang lainnya. Om Ivan pernah memaparkan hal itu secara sekilas dalam acara obrolan di FG I Jogja. Kita tentunya berharap, hal itu muncul dalam paparan panjang di web KM ini.
Memaster KN berdasar tujuan
Setelah kita memilih KN berdasar tujuan, maka kita perlu berbicara mengenai masteran untuk KN berdasar tujuan. Kalau kita pengin KN “tren Jakarta”, maka cukuplah KN dimaster dengan ciblek. Nggak perlu dimaster dengan beragam isian yang lagunya cenderung “nekak-nekuk” semacam lagu BT atau sanger. KN akan “gemrobyos bin berkeringat” untuk membawakan lagu BT.Itulah mengapa KN yang dimaster suara-suara tekukan pendek tajam ala BT mudah “ngglender” kalau tidak ditempel masterannya terus-menerus. Sebenarnya isian KN itu tidak hilang, cuma KN malas membawakannya karena “berat” dan relatif tidak cocok dengan karakter suara dia.KN dengan masteran nekak-nekuk ala BT, cenderung akan banyak “ngetem” (diam nggak bunyi) ketika ditrek bareng dengan banyak KN lain. Suara BT tidak cocok dibawakan oleh KN yang berada dalam kondisi sangat emosional seperti itu. Apalagi kalau KN itu berkarakter galak/ganas kepada KN lain, maka alih-alih menyelesaikan lagu BT, dia malah nabrak-nabrak sangkar mau mengejar musuh. “Keganasan” itu akan bertambah-tambah jika ditingkahi oleh suara teriakan suporter macam di arena lomba.Pada saat KN “ngetem”, dia “merekam suara” yang menurut dia “aku banget”. Maka waspadalah setelah itu, kalau tidak lagi ditempel ketat dengan BT, apalagi umurnya masih muda, maka dia akan “kehilangan” suara BT-nya dan jadilah lagunya “ngglender” kembali ke suara “standar”.Jika KN diisi dengan lagu yang “tidak berat” dan hanya berupa tonjolan-tonjolan tertentu (suara satu-satu ciblek, atau suara ciblek yang “ngebren” misalnya), maka dia akan fasih dalam membawakannya karena tidak harus mengeluarkan “lagu berat”. Dengan demikian, napas dia pun akan panjang dan tidak terpurtus-putus.Kebalikan dari hal di atas, jika kita pengin punya KN “tren Jogja”, maka isilah dengan lagu non-KN. Apapun. Semakin unik, semakin tinggi nilainya. Beberapa waktu berselang, BT atau sanger menjadi isian favorit tren Jogja. Tetapi karena semuanya bergerak ke isian BT atau sanger, maka KN dengan isian BT atau sanger sudah menjadi “barang biasa”. Karena itulah, para pemain Jogja mulau mencari alternatif lagu isian yang lain. Apa itu? Ya, tentunya itu merupakan rahasia masing-masing pemain, yang akan segera ketahun dalam beberapa waktu mendatang di arena lomba.
Isian KN perpaduan Jogja-Jakarta
Sampailah kini kita mempertanyakan, lagu/ isian apakah yang cocok dimasterkan ke KN sehingga bisa masuk untuk “tren Jogja” maupun “tren Jakarta” untuk saat ini? Saya belum bisa menjawab pertanyaan itu karena saya “masih hunting” untuk mendapatkan jawabannya.
Ada sementara orang mengatakan bahwa lagu/suara Goldfinch (GF) sangat cocok untuk tujuan itu (untuk melihat gambar-gambar GF, bisa klik di sini). Alasannya, tekukan lagu GF terdengar indah tetapi tidak akan berat jika harus dibawakan KN dan karenanya KN pun bisa membawakannya dengan alunan tinggi-rendah dalam rentang waktu yang relatif panjang. Apakah benar demikian?Silakan bereksperimen….Salam,Duto Sri CahyonoCatatan:Terima kasih untuk Om Ivan SmarMastering atas paparan Om dalam obrolan bareng di acara FG I KM di Jogjakarta, 28 Desember 2008 lalu. Paparan Om mempercepat proses saya dalam “merumuskan” kata-kata untuk postingan ini.

Selasa, 18 November 2008

Memilih kenari berdasar katuranggan



Berikut ini saya sampaikan tips mengetahui gaya tarung dan beberapa sifat dari kenari berdasar katuranggan (ciri fisik yang terlihat dari luar). Tips ini saya peroleh Kamis (10/7/2008) malam dalam ngobrol lama dengan seorang sobat baru, Om Erik, yang sudah malang-melintang di dunia kenari. Salah satu kenari asuhannya, pernah menyabet juara kecil di Piala Raja. Dia dikenal sebagai salah seorang “head hunter” bakalan kenari. Dia juga perawat kenari “pemain besar” lomba kenari dari Jogja.Salah satu jagoannya, masih berusia 7 bulan, yang saya incar (incar karena nggak berani nawar karena nggak ada uang), mau dimahari Rp. 2,5 juta oleh pemain Jogja tetapi belum dilepas.
Gaya tarung kenari berdasar bentuk body dan kondisi sayap:Menurut dia, gaya tarung kenari bisa dikelompokkan dalam 3 jenis.
1. Gaya buka sayap turun ½ atau hanya turun sedikit, dengan kepala hanya menggelang-geleng kanan-kiri (yang disebutnya gaya Steve Wonder).
2. Gaya buka sayap turun penuh ke arah bawah, dengan model tarung sambil jalan kanan-kiri.

3. Gaya buka sayap ke arah depan, dengan model tarung sambil jalan kanan-kiri.
Gaya 1, biasanya dilakukan oleh kenari-kenari dengan body keseluruhan yang terlihat tidak proporsional dan, jika dalam keadaan normal/tidak beraksi, kedua sayap bertemu bersilangan membentuk gunting dan karenanya, jarak antra ujung sayap dengan pangkal ekor relatif jauh (tidak bersentuhan). Kalau dilihat dari atas bodinya terlihat seperti persegi panjang dengan perbandingan panjang: lebar = 3:1.
Gaya 2, biasanya dilakukan oleh kenari dengan body proporsional, panjang dan kalau dilihat dari atas bodinya terlihat seperti persegi panjang dengan perbandingan panjang: lebar = 4:1; ujung bulu kedua sayap sejajar ke arah belakang, lurus.
Gaya 3, sama dengan ciri pemilik gaya 2, denagn perbedaan pada sayap yaitu ujung bulu kedua sayap sejajar ke arah belakang tetapi agak turun jatuh (ngglembreh- Jawa).Cepat lambatnya kenari bunyi berdasar ketebalan bulu:
1.Kenari dengan bulu tebal (yang dia istilahkan “bulu rangkap”) cenderung lama untuk bisa bernyanyi secara maksimal.
2.Kenari dengan bulu tipis (yang dia istilahkan dengan “bulu satu”) lebih cepat berbunyi dengan capaian lagu maksimal (punya Om Erik, kenari 7 bulannya yang sudah berprestasi di tiga arena lomba, berbulu tipis.Cepat lambatnya kenari bunyi berdasar warna dominan pada bulu:
1.Kenari yang memiliki warna dominan cerah (putih, kuning, orange) cenderung lama untuk bisa bernyanyi secara maksimal.
2.Kenari yang tidak memiliki warna dominan cerah (putih, kuning, orange) lebih cepat berbunyi dengan capaian lagu maksimal (punya Om Erik, kenari 7 bulannya berwarna bon dengan warna terbanyak (tetapi tidak terlihat dominan) hijau-kuning.Kelebihan dan kelemahan kenari berdasar ketebalan bulu:
1.Kenari berbulu tebal/rangkap lebih bisa membawakan lagu dengan cengkok yang terdengar lebih jelas ketimbang kenari berbulu satu/tipis karena dalam membawakan suara hanya sedikit ditingkahi dengan gaya (baik sayap, maupun jalan kanan-kiri).
2.Kenari berbulu tipis lebih lincah dan bisa bergaya dengan mengandalkan suara-suara tembakan.BersambungSalam,Duto